Pagi ini.. Aku nyasar liat facebook seseorang
(temen SMA dulu).. Penasaran, sekarang dia seperti apa??
hehe.. Trus abis kenyang ngliat foto-foto di albumnya n ngliat video akad nikah
(akad nikah.. huaaaa.. :'( *wajah mupeng lagi nangis*.. kenapa bukan AKU yg disitu??)), akhirnya nyasar juga baca catatan2nya.. Ada banyak judul, gan..
Prahara Seorang Papa..
Karna Dia Adalah Ibuku..
Kelak Kau Baca Aku. Dll.. Ada satu judul yg membuat hati tergilitik buat share ke kamu.. Judulnya
Curhat Tuan Setan Kepadaku,,
Dari judulnya aja dah aneh kan?? Kapan coba coba ketemu setan.. Trussss.. Kalo diperhatiin,, apa mungkin seorang setan,, (hmm.. kug seorang)..
Yaudah diganti.. Apa mungkin sesetan setan (hahaha.. waguuu tenan yo) berani ketemu wanita berjilbab putih di pic samping ni?? Aku aja gk brani.. apalagi setan.. hahaha..
Pasti kamu juga penasaran?? So.. Baca langsung aja gan..!!!
CURHAT TUAN SETAN KEPADAKU
Tadi malam, Tuan Setan curhat lagi, tentang banyak hal. Ia heran
melihat banyak di antara kita, para manusia, yang memilih untuk
“menyerah” dan “putus asa” menghadapi berbagai persoalan hidup yang
mereka hidupi dan hidup yang ingin mereka hidup-hidupkan. Sebagian lain
bahkan menjalani hidup dengan cara yang menurutnya sangat memalukan.
“Belakangan ini para manusia menjadi semakin cengeng dan terlihat
tolol!” Katanya kesal.
Ia berkali-kali mengurut dada, menggelengkan
kepala, mencoba mengerti apa yang terjadi di sekelilingnya—ia tak mampu
menyembunyikan rasa kesalnya. Rahangnya menguat, terdengar gigi-giginya
gemeretak. Ia lalu mencontohkan seorang ayah yang tega membanting
anaknya sendiri yang masih bayi sampai mati, seorang Ibu yang membawa
serta dua anaknya bunur diri dengan membakar diri hidup-hidup, lelaki
tambun yang mengakhiri hidupnya dengan terjun dari lantai delapan sebuah
pusat perbelanjaan—semuanya karena persoalan ekonomi. Di sisi lain,
mereka yang berkelimpahan harta lupa bagaimana caranya memaknai
kemanusiaan; pejabat yang tega menghabisi uang rakyat, penegak hukum
yang kian buta memaknai keadilan dan kebenaran.
Ia membetulkan
posisi duduknya. Tak lama berselang, ia bangkit menuju jendela. Menghela
napas panjang. “Apa ini salahku? Seperti kata mereka.” Katanya lemas.
“Rasanya, aku tak pernah secara spesifik meminta mereka berbuat sekeji
dan sejahat itu. Mereka terlalu kreatif merespon godaanku, tafsir mereka
terlalu liar atas apa saja yang kubisikan pada telinga mereka.
Faktanya, aku hanya berkata, ‘Sahabat Super yang saya cintai, bangkitkan
sisi negatifmu. Lalu lihat apa yang akan terjadi!’”
Sekali lagi, ia menggelengkan kepalanya. “Aku tak mengira efeknya separah ini!”
Saya
bingung sendiri mendengarnya berkeluh kesah seperti ini. Lagi pula,
benar juga apa yang dia bicarakan. Aku jadi ingat kata-kata sahabatku
yang lain, “Manusia bisa lebih buruk daripada setan, juga bisa lebih
baik melampaui malaikat.” Mungkin fenomena ini yang sekarang terjadi di
sekeliling kita. Entah tanda-tanda apa ini. Mungkin kiamat memang kian
dekat—atau kemanusiaan kita kian surut, lantas kita merasa biasa saja
menyaksikan pembunuhan, melihat kejahatan, menatap ketidakadilan,
melakukan kecurangan, kebohongan, penganiayaan, dan seterusnya.
Kami
lantas berbincang soal banyak hal. Tuan Setan merasa sudah saatnya
untuk pensiun dari tugasnya. “Manusia udah nggak asyik lagi.” Katanya.
“Kalau semua sudah jahat dan keliru-keliru, lalu apalagi tugasku? Ini
malah melebihi target yang diamanatkan undang-undang dasar setan.
Barangkali itulah salah satu alasan Tuan Setan melakukan hampir segala
hal dalam sembunyi, ia sendiri sebenarnya malu atas apa yang pernah ia
perbuat di masa lalu. Tapi kita? Kita seperti tak pernah mengerti makna
rasa malu—berkali-kali berbuat kesalahan, kejahatan, kebohongan,
kenistaan, pengkhinatan, perselingkuhan pun kita tak pernah memilih
untuk sembunyi. Kita selalu “terlihat”. Cuek saja di hadapan banyak
orang. Dan tak jarang kita merasa bangga atas kejahatan yang kita
perbuat.
Diri kita sepenuhnya ditentukan oleh apa yang kita
perbuat, dan setiap orang ditentukan sepenuhnya oleh apa saja yang
mereka lakukan dalam hidup yang mereka hidupi dan hidup yang ingin
mereka hidup-hidupkan. Itu saja soalnya.
Biarlah Tuan Setan
menjalankan tugasnya. Biarkanlah ia terus menggoda kita. Tapi, biarkan
sampai di situ saja. Jangan sampai kita kehilangan kemanusiaan kita.
Manusialah yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk memilih yang
baik atau yang buruk, kebaikan atau kejahatan, kebohongan atau
kejujuran, pengkhianatan atau kesetiaan. Setan bahkan malaikat tak punya
pilihan-pilihan itu
Saya menarik napas panjang dan
menghembuskannya pelan-pelan. Ada yang bergetar dalam dada. Memang benar
sepertinya. Tak ada alasan lagi untuk menunda memosisikan diri sebagai
tuan bagi diri kita sendiri. Kitalah yang memilih melakukan kebenaran
atau kejahatan, bukan siapapun. Bila kejahatan-kejahatan dan
keburukan-keburukan yang selama ini ada di sekeliling kita adalah hasil
akumulasi dari kejahatan-kejahatan dan keburukan-keburukan pribadi,
sudah saatnya kita mengubahnya. Mulailah memilih segala yang baik dan
yang benar dari diri kita sendiri, biarkan semua itu terus-menerus
terakumulasi; lalu lihat apa yang akan terjadi!
Tuan Setan sudah
menghilang tiba-tiba dari hadapan saya. Diam-diam saya ingin melakukan
kebaikan pertama malam ini dengan berkata tulus padanya, “Terima kasih,
Tuan Setan.” Dan kebaikan kedua? Saya menuliskan “curhat” ini buat
kalian—semoga benar-benar menjadi kebaikan.
I.R.M (Sorry.. nama pengarang dikasih inisial aja.. nanti tenaran dia dripada aku.. wkwkwkw)