ada awal terbentuknya Sagita pada 16 Oktober 2009 atau kini sudah berusia dua tahun itu tidak jauh beda dengan orkes melayu (OM)/kelompok dangdut pada umumnya. Bahkan, awalnya kelompok musik Sagita belum dikatakan sebagai kelompok musik sebuah orkes melayu karena masih berkelas sebagai orkes elektone. Mereka selalu tampil dalam sebuah acara resepsi pernikahan, arena rapat, hari ulang tahun sebuah instansi, dan sebagainya.
Namun, rupanya seiring dengan berjalannya waktu, kelompok Sagita tidak puas dengan kondisi yang itu itu saja. Mereka pun mencoba meningkatkan kelas popularitasnya. Dari hasil berbagai eksperimen, akhirnya diambil sebuah terobosan kreatif, yaitu mengolaborasikan musik dangdut dengan kesenian tradisional kuda lumping (jaranan) asli Nganjuk. Karena itu, sekarang musik racikan Sagita sangat kental dengan terompet tradisional dan pukulan kendang.
“Setelah melalui perhitungan dan pencocokan peralatan musik yang ada, lahirlah sebuah musik dangdut jaranan dari kelompok musik Sagita,” kata humas Sagita, Hendri Pepenk, ketika ditemui di belakang panggung di Nganjuk.
Memang, di kalangan masyarakat sebetulnya musik jaranan identik dengan ilmu supranatural. Itu dikarenakan setiap penampilan kesenian jaranan para penarinya selalu kesurupan. Tetapi, subgenre dangdut ini, djanduth, aroma mistik itu hilang. Yang ada dorongan kuat untuk berjoget mengikuti goyangan penyanyi di atas panggung.
Terlebih lagi, kelompok musik Sagita yang selalu menampilkan penyanyi Eny Setyaningsih dengan nama beken Eny Sagita, dengan lagu-lagu ala pengamen, karena memang diciptakan oleh para pengamen tersebut semakin banyak diminati masyarakat. Suguhan musik jenis baru dengan lagu sedikit nakal dan jenaka terus melambungkan nama Djandhut Sagita.
Tak hanya lagu berlirik nakal yang didendangkan Eny dan kawan-kawannya. Mereka juga menyanyikan ulang lagu-lagu dangdut yang sudah terkenal lebih dulu. Namun, tentu saja tetap dengan gaya Sagita. Irama dangdut yang tegas dengan ketukan kendang yang monoton. Rasa baru dangdut ala Sagita itu tetap menarik penonton untuk bergoyang.
“Kami memang berusaha menampilkan aransemen musik berbeda, dan itulah mungkin mengapa Sagita sangat disuka oleh masyarakat sekarang ini,” ucap Pepenk.
Soal assololey yang banyak diperdebatkan dalam forum-forum di internet, antara lain, disebut punya konotasi jorok, Pepenk menjawab enteng.
“Ya bolehlah assololey itu dianggap pemendekan dari ungkapan asoi pakde ataupun diartikan yang macam-macam, tetapi yang jelas munculnya salam asololey yang kini menjadi salam khas Sagita lahir dari mulut Eny Sagita,” tandas Pepenk.
Memang selama ini, di sela-sela menyanyi, Eny kerap melontarkan kata ‘assololey’. Istilah yang akrab bagi Sagita Mania (kelompok penggemar Sagita) bisa berarti banyak. Kadang berarti salam pembuka, salam penutup, atau yang lainnya. Yang menarik, assololey selalu dilontarkan Eny ketika ia melihat massa pendukungnya mulai ribut dan saling pukul. Begitu salam assololey dilontarkan Eny, penonton pun berhenti baku pukul dan kembali berjoget. “Jadi boleh dibilang assololey adalah salam damai,” kata Pepenk enteng.
Hingga sekarang ini, sudah ada sembilan album yang ditelurkan Djandhut Sagita. Tujuh album musik dangdut mulai dari Ngamen 1 hingga Ngamen 7, satu album musik Djandhut lagu anak-anak, dan satu album musik religi.
Meski berjudul Ngamen, ketujuh album itu berisi lagu-lagu dangdut pada umumnya yang sudah beredar di pasaran. Demikian juga dengan album anak-anak, juga menampilkan lagu yang sudah ada, namun dengan diiringi musik dangdut jaranan. Seperti lagu Balonku, Helly, Bangun Tidur, dan sebagainya.
Hal sama juga terjadi pada album religi yang ditampilkan oleh Sagita dengan penyanyi Eny Sagita. Mulai dari lagu Sluku-sluku Bathok, Tombo Ati, Sholawatan, Gus Dur, dan sebagainya. Lagu Gus Dur bukan ciptaan personel Sagita melainkan ciptaan dalang Pur dari Ngawi.
“Khusus untuk lagu Gus Dur ini sengaja kami aransemen sedemikian rupa, sehingga tampilan musiknya cukup enak didengarkan sesuai dengan pesan religi dari seorang kiai besar yang juga mantan Presiden RI,” tukas Pepenk.
Soal kontroversi sejumlah lagu yang dibawahkan Eny Sagita dan kini diributkan oleh KPID Jatim yakni lagu Iwak Peyek yang diambil dari lagu suporter itu tidak menjadi persoalan. Akan tetapi selayaknya sebelum melakukan penilaian dilihat terlebih dahulu dan dicari kebenarannya dari kalimat menthul yang dikonotasikan jorok. Ini dikarenakan kalimat menthul berasal dari nama topeng penthul yang dipakai penari kuda lumping. Di mana penari yang memakai topeng tersebut dinamakan lagi menthul.
Namun, rupanya seiring dengan berjalannya waktu, kelompok Sagita tidak puas dengan kondisi yang itu itu saja. Mereka pun mencoba meningkatkan kelas popularitasnya. Dari hasil berbagai eksperimen, akhirnya diambil sebuah terobosan kreatif, yaitu mengolaborasikan musik dangdut dengan kesenian tradisional kuda lumping (jaranan) asli Nganjuk. Karena itu, sekarang musik racikan Sagita sangat kental dengan terompet tradisional dan pukulan kendang.
“Setelah melalui perhitungan dan pencocokan peralatan musik yang ada, lahirlah sebuah musik dangdut jaranan dari kelompok musik Sagita,” kata humas Sagita, Hendri Pepenk, ketika ditemui di belakang panggung di Nganjuk.
Memang, di kalangan masyarakat sebetulnya musik jaranan identik dengan ilmu supranatural. Itu dikarenakan setiap penampilan kesenian jaranan para penarinya selalu kesurupan. Tetapi, subgenre dangdut ini, djanduth, aroma mistik itu hilang. Yang ada dorongan kuat untuk berjoget mengikuti goyangan penyanyi di atas panggung.
Terlebih lagi, kelompok musik Sagita yang selalu menampilkan penyanyi Eny Setyaningsih dengan nama beken Eny Sagita, dengan lagu-lagu ala pengamen, karena memang diciptakan oleh para pengamen tersebut semakin banyak diminati masyarakat. Suguhan musik jenis baru dengan lagu sedikit nakal dan jenaka terus melambungkan nama Djandhut Sagita.
Tak hanya lagu berlirik nakal yang didendangkan Eny dan kawan-kawannya. Mereka juga menyanyikan ulang lagu-lagu dangdut yang sudah terkenal lebih dulu. Namun, tentu saja tetap dengan gaya Sagita. Irama dangdut yang tegas dengan ketukan kendang yang monoton. Rasa baru dangdut ala Sagita itu tetap menarik penonton untuk bergoyang.
“Kami memang berusaha menampilkan aransemen musik berbeda, dan itulah mungkin mengapa Sagita sangat disuka oleh masyarakat sekarang ini,” ucap Pepenk.
Soal assololey yang banyak diperdebatkan dalam forum-forum di internet, antara lain, disebut punya konotasi jorok, Pepenk menjawab enteng.
“Ya bolehlah assololey itu dianggap pemendekan dari ungkapan asoi pakde ataupun diartikan yang macam-macam, tetapi yang jelas munculnya salam asololey yang kini menjadi salam khas Sagita lahir dari mulut Eny Sagita,” tandas Pepenk.
Memang selama ini, di sela-sela menyanyi, Eny kerap melontarkan kata ‘assololey’. Istilah yang akrab bagi Sagita Mania (kelompok penggemar Sagita) bisa berarti banyak. Kadang berarti salam pembuka, salam penutup, atau yang lainnya. Yang menarik, assololey selalu dilontarkan Eny ketika ia melihat massa pendukungnya mulai ribut dan saling pukul. Begitu salam assololey dilontarkan Eny, penonton pun berhenti baku pukul dan kembali berjoget. “Jadi boleh dibilang assololey adalah salam damai,” kata Pepenk enteng.
Hingga sekarang ini, sudah ada sembilan album yang ditelurkan Djandhut Sagita. Tujuh album musik dangdut mulai dari Ngamen 1 hingga Ngamen 7, satu album musik Djandhut lagu anak-anak, dan satu album musik religi.
Meski berjudul Ngamen, ketujuh album itu berisi lagu-lagu dangdut pada umumnya yang sudah beredar di pasaran. Demikian juga dengan album anak-anak, juga menampilkan lagu yang sudah ada, namun dengan diiringi musik dangdut jaranan. Seperti lagu Balonku, Helly, Bangun Tidur, dan sebagainya.
Hal sama juga terjadi pada album religi yang ditampilkan oleh Sagita dengan penyanyi Eny Sagita. Mulai dari lagu Sluku-sluku Bathok, Tombo Ati, Sholawatan, Gus Dur, dan sebagainya. Lagu Gus Dur bukan ciptaan personel Sagita melainkan ciptaan dalang Pur dari Ngawi.
“Khusus untuk lagu Gus Dur ini sengaja kami aransemen sedemikian rupa, sehingga tampilan musiknya cukup enak didengarkan sesuai dengan pesan religi dari seorang kiai besar yang juga mantan Presiden RI,” tukas Pepenk.
Soal kontroversi sejumlah lagu yang dibawahkan Eny Sagita dan kini diributkan oleh KPID Jatim yakni lagu Iwak Peyek yang diambil dari lagu suporter itu tidak menjadi persoalan. Akan tetapi selayaknya sebelum melakukan penilaian dilihat terlebih dahulu dan dicari kebenarannya dari kalimat menthul yang dikonotasikan jorok. Ini dikarenakan kalimat menthul berasal dari nama topeng penthul yang dipakai penari kuda lumping. Di mana penari yang memakai topeng tersebut dinamakan lagi menthul.